Bagaimana
Perhitungan Zakat Profesi?
MENGAPA harus berzakat? Selain
sarana membersihkan harta, nilai sosial adalah hal yang nampak begitu jelas
pada rukun Islam yang satu ini. Pengamalan dan pemaknaan terhadap zakat dapat
mencerminkan kepedulian seorang muslim pada sesama.
Mengenai sasarannya, zakat pun
begitu sangat jelas, yaitu menolong para mustahiq. Dengan pemberian tersebut,
tentu kualitas hidup mereka akan meningkat. Hal ini menandakan bahwa Islam
ternyata mengatur bagaimana seorang muslim dapat hidup secara seimbang, yaitu
memerhatikan aspek hubungan dengan Allah maupun dengan manusia lainnya.
Disini akan dibahas terperinci
mengenai zakat profesi, yang sebagaian besar orang-orang di Indonesia apalagi
mereka yang hidup di perkotaan kebanyakan, wilayah pekerjaannya di bidang jasa.
Dalam kitab fiqih kontemporer zakat
pendapatan/penghasilan lebih dikenal sebagai zakat profesi. Menurut Dr. Yusuf
Qordhowi dalam Fiqhu az-Zakat, zakat profesi adalah pendapatan berupa gaji/upah
yang diperolehnya berdasar profesinya. Baik itu dokter, pegawai negeri,
konsultan, notaris, kontraktor, sekretaris, manajer, direktur, guru, karyawan
dan lain sebagainya.
“Pungutlah zakat dari kekayaan
mereka, berarti kau membersihkan dan mensucikan mereka dengan zakat itu, kemudian
doakanlah mereka, doamu itu sungguh memberikan kedamaian buat mereka. Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. at-Taubah : 103)
Zakat profesi pun bisa dilaksanakan
setahun sekali atau sebulan sekali, atau berapa bulan sekali, terserah. Yang
jelas, jika ditotal setahun besar zakat yang dikeluarkan akan sama. Namun
ingat, ia baru wajib mengeluarkan jika penghasilannya, seandainya ditotal
setahun setelah dikurangi kebutuhan-kebutuhannya selama setahun melebihi nisab.
Jika tidak, tidak wajib zakat.
Waktu
Pengeluaran
Berikut adalah beberapa perbedaan
pendapat ulama mengenai waktu pengeluaran dari zakat profesi:
1. Pendapat As-Syafi’i dan Ahmad
mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama
modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi
terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun
tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib
mengeluarkan zakat.
3. Pendapat ulama modern seperti
Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung
ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan zakat
pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen. (haul:lama pengendapan
harta)
Nisab
Nisab zakat pendapatan/profesi
mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq
atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras. Hal ini berarti jika harga
beras adalah Rp 4.000/kg maka nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000
menjadi sebesar Rp 2.080.000.
Namun mesti diperhatikan bahwa
karena rujukannya pada zakat hasil pertanian yang dengan frekuensi panen sekali
dalam setahun, maka pendapatan yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah
pendapatan selama setahun. Artinya jika seseorang memiliki pendapatan 520 x
harga beras saat ini, dan hasilnya ternyata kurang lebih dua juta dalam
setahun, maka ia telah terkena kewajiban zakat.
Kadar
Zakat
Penghasilan profesi dari segi
wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda dengan tanaman, dan lebih dekat
dengan emas dan perak. Oleh karena itu kadar zakat profesi yang diqiyaskan
dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits
yang menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah:
“Bila engkau memiliki 20 dinar emas,
dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)”
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan
zakat profesi dibedakan menurut dua cara:
1. Secara langsung, zakat dihitung
dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau
tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya
oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya,
maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp
900.000 per tahun.
2. Setelah dipotong dengan kebutuhan
pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok.
Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan.
Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk
kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat
sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp
150.000,- per tahun. [ra/islampos/wikipedia]
Dinar Dan Dirham Pada Zaman Nabi Adam Alaihis Salam
dinar dirham |
Dalam kitab Qishash
al-Anbiya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh al-Hajj
Azhari al-Khalidi (tanpa tahun: 28-29) disebutkan bahwa dinar (uang emas) dan
dirham (uang perak) sudah ada sejak zaman Nabi Adam ‘alaihi salam. Hal ini
sebagaimana tertulis dalam kitab tersebut:
“Hai Bapak kami, berilah akan kami suatu
perbuatan akan belanja kami dan perniagaan kami”, maka kata Nabi Adam “segala
anakku sabarlah kamu dahulu lagi akan kupohonkan kepada Allah ta’ala”.
Arkian maka Nabiyullah Adam ialaihi as-salam pun
minta do’a kepada Allah ta’ala “Ya tuhanku bahwasanya Engkau jua Tuhan yang
amat mengampuni akan hal segala hamba-Mu bahwa kehendak mereka itu dunia ini
yang fana ini daripada negeri akhirat, maka jika Kau anugrahai harta dan
belanja dan perniagaan akan mereka itu niscaya gururlah mereka itu akan dunia
mereka itu dan jika tiada kau anugrahkan mereka itu sebagai lah? Ia mintai belanja
dan dengan supaya berniaga mereka itu inilah bagi hamba-Mu memohonkan
karunia-Mu”.
Arkian maka jibril pun turun kepada Nabiyullah
Adam membawa segenggam perak uang maka ujar jibril: “Ya Adam bahwa Tuhanmu
berfirman kepada-Mu: “inilah emas segenggam dan perak segenggam anugrah
daripada Allah ta’ala akan segala anak cucunya tuan hamba”, maka sahut Nabi
Adam: “Ya Jibril bagaimana segala anak cucu hamba emas dan perak yang segenggam
ini karena mereka itu amat banyak”, maka ujar Jibril: “Ya Adam bahwa firman
Tuhan-Mu jangan Kau sangka demikian itu bahwasanya Tuhan seru alam amat kuasa,
hendaklah tuan hamba hantarkan emas dan perak itu pada suatu bukit niscaya
dianugrahakan Tuhan datang kepada anak cucu tuan hamba mengambil dia hingga
datang kepada hari kiamat pun tiada akan habis. Bahwasanya Allah jua Tuhan yang
kuasa pada membanyak kan dia hatta”.
Maka diambil Nabi Adam lah emas dan perak itu
lalu dihantarkannya pada suatu bukit antara beberapa hari maka datang pula
segala anak cucunya Nabiyullah. Adam menghadap, maka ujar mereka itu “Hai Bapak
mana belanja dan perniagaan agama kami?”, maka sahut Nabi Adam “ambillah oleh
kamu pada bukit itu emas dan perak dianugrahakan Allah ta’ala akan kamu
sekalian.” Maka pergilah mereka itu mengambil emas dan perak kepada bukit itu.
Menurut Hamdan Hassan sebagaimana dikutip oleh
Liaw Yock Fang (2011: (238-240), cerita-cerita Nabi-nabi yang paling terkenal
ialah Qishash al-Anbiya yang
disusun oleh al-Kisa’i sebelum abad ke-13. Ia adalah diakui sebagai tukang
cerita yang ulung. Ia tidak membatasi sumbernya pada al-Quran dan tafsirnya
saja. Ia juga menimba bahannya dari cerita setempat dan cerita-cerita khayalan
seperti yang terdapat dalam Cerita Seribu Satu Malam.
Cerita al-Quran dalam bahasa Melayu terkenal
dengan nama Kisah al-Biya. Naskahnya banyak sekali dan terdapat di
perpustakaan-perpustakaan di Leiden, London dan Jakarta. Di Perpustkaan
Nasional Jakarta terdapat enam naskah Kisah al-Anbiya. Empat dari naskah itu, yaitu kitab Ahlu Tafsir
(vd. Wall 66), Qisasul-Anbiya (v.d. Wall 67), Hikayat Fir’aun (v.d. Wall 68)
dan Anbiya (Cohen Stuart 122) telah dikaji oleh seorang sarjana Belanda yang
bernama D. Gerth Van Wijk (Wijk, 1893: 239-245). Namun tidak dapat diketahui
bila dan oleh siapakah naskah-naskah itu ditulis. Yang diketahui ialah Qisasul
Anbiya disalin oleh Encik Husain, seorang Bugis yang tinggal di Kalang, Hikayat
Fir’aun disalin oleh Encik Mohammad Syam yang berasal dari Lingga.
Suratul
Anbiya pula asalnya adalah sebuah naskah yang dimiliki oleh seorang
bernama Baharuddin, tinggal di di Gang Trunci, Kampung Norbek. Di dalam halaman
pertama dinyatakan bahwa hikayat itu memerlukan waktu delapan bulan untuk
menyalinnya. Seperti hadis juga, Kisas al-Anbiya selalu mulai dengan isnad
yaitu daftar nama orang yang menurunkan cerita. Di antara nama yang sering
disebut ialah Abdullah ibn Abbas (wafat 687), Muhammad al-Qalbi, Ka’ab al-Ahbar
(wafat 652), Wahab Ibn Malik dan Sa’bi (wafat 1059).
Kisah
al-Anbiya yang diterjemahkan oleh Hai Azhari Khalid dari bahasa
Arab ke dalam bahasa Melayu itu mempunyai jalan cerita yang sama dengan Suratul Anbiya (Cohen Stuart
22). Mungkin sekali keduanya berasal dari suatu sumber yang sama. Sayang sekali
tahun penerjemahan dan penerbitan tidak disebut. Hanya disebut bahwa kitab itu
pernah dibetulkan oleh Muhammad Tahir al-Indunisia, tukang tashih kitab Melayu
di Mesir. Kitab ini pernah berkali-kali diterbitkan oleh berbagai penerbit,
seperti Sulaiman Mar’i di Singapura, Darul Ma’arif di Pulau Pinang dan Menara
Kudus di Jakarta. Menurut Muhammad Hasan, penerbit buku agama di Mesir seperti
Mustafa al-babi al-Habi wa Awladihi di Mesir juga pernah menerbitkan Kisah al-Anbiya pada tahun 1348
H/1929 M (Hamdan Hassan, 1982: 72).
Kisah serupa juga sejalan dengan hasil
penelusuran Soni Farkhani dari kitab Nashaih al-’Ibad yang hingga kini masih dikaji di
pesantren-pesantren yang mengajarkan kitab kuning. Di dalam kitab karya Syaikh
Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (lahir 1230 H di Banten dan meninggal pada tahun 1314
H di Mekkah) yang merupakan syarah kitab al-ManbaÄ¥atu ‘ala al-Isti’dad li yaum
al-Mi’ad karya Ibn Hajar al-’Asqalani ini ditulis:
“Setelah
Allah menurunkan Nabi Adam as. Dari syurga ke arcapada (dunia), maka
sesungguhnya segala sesuatu mendampinginya, kecuali emas dan perak. Kemudian
Allah berfirman kepada benda tersebut,” Aku mendampingi engkau dengan hamba-Ku,
kemudian hamba itu Aku lepas dari sampingku dan semua pihak yang semula
mendampinginya, merasa susah karenanya kecuali engkau berdua. “Maka keduanya
menjawab, “Tuhan kami, Engkau Maha Mengetahui, bahwa justru membuat kami berdua
berdampingan dengannya selagi ia menaati-Mu, maka kami tidak merasa susah atas
nasib selanjutnya.” Lalu Allah berfirman kepada keduanya,” Demi kitinggian-Ku
dan keagungan-Ku, niscaya Aku akan membuatmu berharga, sehingga tidak dapat di
peroleh segala sesuatu melainkan denganmu berdua.”
Kisah
tentang uang emas dan uang perak yang sudah ada sejak zaman Nabi Adam juga
ditulis oleh Taqiyuddin Ahmad ibn Ali al-Maqrizi dalam Ighathat al-Ummah
bi Kashf al-Ghummah. Di dalam kitab ini dinyatakan orang pertama yang
mencetak uang emas (dinar) dan uang perak (dirham) adalah Nabi Adam a.s yang
bersabda bahwa kehidupan ini tidak akan menyenangkan tanpa mata uang dinar dan
dirham. Al-Maqrizi mengutip hal ini dari kitab Tarikh Dimashq yang ditulis
Hafidh Ibn Asakir (Allouche, 1994: 55-56).
Di dalam
Injil, menurut Bates (1998: 103 & 107) juga dijelaskan bahwa di awal-awal
kehidupan manusia, emas dan perak merupakan barang bernilai yang tinggi dan
Injil selalu mencatat emas dan perak sebagai uang.
DEMOKRASI, INFLASI, DAN KORUPSI
Oleh:
Muhaimin Iqbal
Seorang
professor di Frankfurt School of Finance and Management –
Germany, Prof. Thorsten Polleit belum lama ini mengungkapkan teorinya bahwa
faham demokrasi yang dianut di hampir seluruh dunia saat ini telah membawa
dampak korupsi kolektif yang sangat besar yaitu berupa inflasi. Dengan tingkat
keilmuan beliau – yang dipercaya sebagai Chief German Economist for
Barclay Capital selama 12 tahun – tentu teori tersebut
bukan teori yang tanpa dasar.
Demokrasi
yang mengandalkan suara terbanyak membuat pemerintah-pemerintah di dunia
berusaha memenuhi apa yang dikehendaki oleh rakyat banyak. Pemerintah atau
penguasa berkepentingan dengan perolehan suara, sehingga beresiko terhadap
kelangsungan keterpilihan mereka bila tidak merespon keinginan terbanyak ini.
Masalahnya
adalah keinginan masyarakat terbanyak ini belum tentu yang terbaik dan yang
benar bagi kepentingan keseluruhan negeri dalam jangka panjang. Masyarakat
kebanyakan akan cenderung mengharapkan hasil jangka pendek, bukan solusi yang
memerlukan kerja keras dan membawa kebaikan jangka panjang.
Dalam
kaitan dengan pencetakan uang misalnya, jauh lebih mudah bank-bank central
dunia berkolaborasi dengan pemerintah masing-masing mencetak uang lebih banyak
lagi untuk mengatasi masalah-masalah sesaat yang menjadi perhatian publik –
ketimbang mencari solusi permanen dan terbaik jangka panjang yang membuat jidat
mengkerut!
Teori
Prof. Thorsten Polleit ini nampaknya bisa kita saksikan langsung kebenarannya
baik di negeri yang mengaku adikuasa seperti Amerika maupun apa yang kita alami
di negeri ini.
Di Amerika
saat ini yang menjadi isu besar adalah debt ceiling limit –
batas atas hutang yang boleh dilakukan oleh pemerintah. Batas atas hutang
sebesar US$ 16.4 trilyun yang diputuskan sekitar 1.5 tahun lalu tersebut kini
sudah habis terpakai. Negeri itu dalam bahaya bila batas atas baru tidak
berhasil disepakati antara eksekutif dan legislatif-nya dalam dua bulan ini.
Solusi
yang akhirnya nanti dicapai tentu yang populer di pasar dan di rakyatnya yaitu
menaikkan batas atas pinjaman ini, karena bila pinjaman dapat dinaikkan maka
kehidupan masyarakat dan dunia usaha akan bisa berlanjut sebagaimana biasa
- life as usual.
Tetapi
masalahnya adalah apakah ini solusi terbaik ?, solusi yang bersifat permanen
jangka panjang ?. Jawabannya adalah bukan solusi terbaik, ibarat orang sakit
hanya dihilangkan rasa sakitnya tetapi tidak diobati penyakitnya. Buktinya
mudah sekali kambuh lagi, baru 1.5 tahun lalu penyakit yang sama diusahakan
mati-matian diobati – sekarang sudah kambuh lagi.
Logika
sederhananya adalah kalau tetangga Anda hidup mewah dengan credit card tetapi
setiap saat dikejar-kejar debt collector, ketika mereka datang
kepada Anda minta tolong – lantas solusinya apakah Anda menolong dengan
meminjami mereka dengan credit card Anda, atau menasihatinya
untuk hidup sesuai kemampuannya?
Yang
pertama mudah dan menyenangkan tetapi membawa bahaya ke Anda juga dalam jangka
panjang. Yang kedua pahit, membuat Anda tidak populer di hadapan tetangga Anda
– tetapi itulah yang benar dan bisa menyembuhkan.
Hampir
pasti solusi yang akan ditempuh Amerika adalah solusi pertama karena di
masyarakat demokrasi mereka, pemerintah perlu populer meskipun dengan ini
tumpukan hutang akan meninggi dan bebannya kembali ke rakyat dalam jangka
panjang – hanya tidak atau belum disadari saja.
Hutang
yang bertambah mendorong pencetakan uang yang lebih banyak, uang yang ada di
masyarakat akan turun daya belinya secara menyeluruh – dan inilah inflasi yang
menjadi korupsi kolektif itu. Inflasi menjadi instrumen legal untuk mengambil
kekayaan masyarakat dengan paksa dan tanpa bisa dilawan, mudah dan yang diambil
hartanya tidak segera merasa kehilangan .
Contoh
kasus berikutnya adalah yang kita alami di Indonesia. Karena kita menganut
demokrasi yang kurang lebih sama dengan yang di Amerika, maka
keputusan-keputusan yang diambil oleh eksekutif dan legislatif kita juga
cenderung untuk menyenangkan masyarakat banyak dalam jangka pendek.
Ambil
misalnya krisis subsidi bahan bakar, keputusannya cenderung untuk menambah
subsidi untuk mampu menekan harga bahan bakar sesaat – karena ini yang mudah,
populer dan diharapkan oleh masyarakat banyak. Tetapi menambah subsidi ini kan
bukan menyembuhkan penyakit ? dia hanya mengurangi rasa sakit sesaat.
Upaya
penyembuhan penyakit yang sesungguhnya perlu kerja keras yang bisa pahit ,
tidak populer dan hasilnya jangka panjang. Hasil jangka panjang inilah yang
tidak sesuai dengan kepentingan demokrasi – karena saat penyakit tersebut benar-benar
sembuh sudah orang atau partai lain lagi yang mendapat gilirannya untuk
berkuasa dan mendapatkan kredit-nya.
Kasus yang
mirip dengan subsidi bahan bakar tersebut adalah masalah impor kebutuhan bahan
pokok kita seperti kedelai , daging dlsb. Masih terngiang di ingatan kita
bagaimana produsen tahu dan tempe menjerit atas tingginya harga kedelai ? apa
solusinya ? solusinya impor yang lebih banyak.
Sesaat
kemudian pedagang daging menjerit dengan tingginya harga daging, apa solusinya
? lagi-lagi membuka kran impor yang lebih banyak. Ini semua adalah obat
penghilang rasa sakit dan bukan penyembuh penyakit.
Penyakitnya
sendiri kambuh dalam skala yang lebih besar dengan wabah yang lebih
luas. Berupa apa ?, inilah defisit neraca perdagangan yang dialami
negeri ini tahun 2012 lalu. Ini adalah defisit pertama sejak defisit terakhir
52 tahun lalu atau tepatnya tahun 1961.
Mengapa
defisit neraca perdagangan ini ibarat penyakit adalah wabah yang lebih serius
dan meluas ? Karena meskipun mungkin gejalanya tidak atau belum kita rasakan –
tetapi defisit ini akan menggerus nilai kekayaan siapa saja yang hidup di
negeri defisit.
Karena
kita lebih banyak mengkonsumsi daripada memproduksi, maka kembali ki ibarat
rumah tangga Anda – apa yang terjadi bila belanja keluarga Anda lebih besar
dari pendapatan Anda? Makin lama makin miskin dan hutang akan semakin banyak.
Kalau
sudah penyakit defisit ini kambuh, upaya penyembuhannya-pun bisa menyakitkan.
Untuk mengurangi impor dan meningkatkan daya saing ekspor misalnya, salah satu
instrumen yang biasa dipakai otoritas moneter adalah dengan menurunkan nilai
uang kita.
Dengan
cara ini barang-barang impor akan bertambah mahal dan kurang menarik,
sebaliknya barang-barang ekspor kita terasa murah oleh uang negeri pengimpor.
Karena
strategi menurunkan daya beli uang ini juga diketahui oleh seluruh negara lain
di dunia, maka mereka berlomba menurunkan daya beli uangnya untuk bisa
memenangkan persaingan pasar ekspor produk mereka masing-masing. Perlombaan
menurunkan daya beli uang inilah yang sering disebut currency war –
perang mata uang itu, perang untuk saling membanting harga uang !.
Siapa
korban perang dari currency war ini ?, lagi-lagi adalah rakyat
kebanyakan. Kekayaan mereka yang tersimpan dalam bentuk tabungan, deposito,
asuransi, dana pensiun, tunjangan hari tua, dana kesehatan dlsb – semua yang
terdenominasi dalam mata uang yang terlibat dalam currency war secara
langsung maupun tidak langsung – menurun daya belinya. Inilah korban korupsi
kolektif yang bermula dari demokrasi yang kemudian membawa kepada keputusan
yang inflatif.
Lantas
bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari menjadi korban korupsi kolektif
yang diteorikan oleh Prof. Thorsten Polleit tersebut di atas?
Pertama
kita harus sadar dahulu bahwa kita sedang menjadi korban itu. Caranya adalah
dengan mengecek penghasilan Anda, tabungan Anda, dana pensiun Anda dlsb. Apakah
nilainya meningkat bila diukur dengan satuan yang baku –universal unit of account - atau malah menurun, bila
ternyata menurun berarti Anda telah ikut menjadi korban korupsi kolektif itu.
Untuk
mengecek pergerakan asset Anda tersebut dapat Anda gunakan Kalkulator Dinar di menu situs Gerai Dinar atauKalkulator Point di www.indobarter.com .
Setelah
ternyata Anda juga menjadi korban korupsi kolektif ini, maka amankan aset Anda
dari Wealth Reducing Assets(aset-aset yang menjadi korban
korupsi kolektif) menjadi Wealth Preserving Assets – yaitu aset-aset yang mampu
mempertahankan kemakmuran pemiliknya. Yang kedua ini bisa Dinar/emas, property
dan aset-aset riil lainnya yang terjaga nilainya.
Tahap
berikutnya adalah mengupayakan agar aset-aset Anda menjadi Wealth Producing Assets, yaitu aset-aset yang meningkatkan
kemakmuran Anda melalui usaha, perdagangan, pertanian, peternakan dlsb.
Tidak
mudah, perlu kerja keras dengan berurai keringat dan kadang juga air mata,
pahit dlsb. tetapi itulah obat yang sesungguhnya. Bukan sekedar penghilang rasa
sakit, tetapi insyaAllah bener-bener menyembuhkan penyakit. InsyaAllah kita
bisa menghindarkan diri dari menjadi korban masal dari wabah penyakit korupsi
kolektif itu. InsyaAllah. (Islampos/GeraiDinar)
0 komentar:
Posting Komentar